Ajari Aku Tentang Cinta
Selimut malam tersingkap perlahan, sambut pagi cerahkan hari yang kelabu, memikul nestapa yang tiada berepisode, merangkai tanya yang tak terjamah jawaban, diri yang kelana bersajadah kusam, iringi zikir dengan lonceng gereja, mengayuh harap menembus batas alam, walau damai enggan berpihak lantaran jiwa terkalam pilu, dalam nuansa yang semakin gelap.
Kupandang langit yang tak terbatas, semakin dipandang semakin tak terpandang. Kujalani hidup dengan kehendak yang ada, semakin kujalani semakin tak berkehendak. Terjagalah jiwa dalam irama kesadaran, ternyata aku salah memahami cinta, aku keliru menyandarkan jiwa.
Tuhan ajari aku tentang Cinta dengan Cinta.
Aku paham. Aku tak mungkin mengerti karena Cinta tak dapat di mengerti, banyak manusia merasa mengerti, semakin merasa semakin tak mengerti. Diantara mereka ada yang mengatasnamakan cinta lalu membangun rumah tangga diatas cinta, namun kemudian mereka bergunjing, ribut dan saling menyakiti. Kemana kini perginya Cinta..?
Sibuta bertongkat menyisir jalan, lanjutkan perjuangan atas nama cinta, olehnya itu dia mengemis, mendandani dirinya sebagai manusia yang pantas di kasihani, merendah dan menggadai harga diri. Ia telah membinasakan esensi Cinta dalam dirinya lalu berharap akan diberikan Cinta. Adakah perbedaan Cinta dalam dirinya dengan yang Ia harapkan.? Bukankah Cinta adalah Cinta,,?
Cahaya mentari hangatkan bumi, hangatkan juga negeriku yang kelabu, karena rakyat ingin menjadi raja, lalu mengutuk, menghujat dan tak lagi percaya pada pemimpinnya, lantaran pemimpin tak pandai memahami cinta di hati rakyat. Kami bukanlah sekedar rakyat, tapi kami adalah kedaulatan. Kami juga bukan sekedar kumpulan manusia, tapi kami adalah esensi sebuah bangsa, kami adalah partikel-partikel energi yang membentuk dimensi wajah bangsa dalam substansi Nusantara Surgawi.
Saudaraku...
Aku ingin berbisik, mungkin itu lebih membuatmu mendengar karena aku bersuara dalam kelembutan. Lihatlah, betapa diluar sana mereka bersuara dalam semangat yang berapi-api tapi suara mereka tak didengar. Mereka mungkin harus berbisik tapi mereka tidak percaya, karena bagi mereka kerasnya suara, menggelegarnya nada bicara, itu adalah kekuatan. Pahamkah mereka kalau itu bukanlah kekuatan.? Karena kekuatan itu ada dalam Cinta, dan Cinta itu mengalir dalam irama kelembutan.
Sobit ceriaku bertanya padaku di nuansa Facebook ; ” Aku tak mengerti dengan Cinta, aku jalani saja, bahkan aku menikahpun dijodohkan waktu masih kecil.
” Bagus, bisik saya..
Cinta memang tidak untuk dimengerti karena memang tak sanggup untuk dimengerti, Cinta cukup dirasakan lalu dijalani dengan hati. Pandanglah langit, seperti itulah melihat Cinta, semakin tak terpahami. Lalu jalanilah hidupmu, mengertikah kamu dengan hidupmu? Kamu merasakan hidupmu tapi tidak mengerti dengan hidupmu, Itulah Cinta, rasakan dan jalani seperti air mengalir. Adam merasa memahami cinta olehnya Ia pun terusir dari surga lalu menempati bumi.
Iblis sang spiritual sejati, paling dekat dengan sumber Cinta Sejati, karena merasa mengenal Cinta akhirnya Ia beropini atas nama Cinta yang membuatnya dikutuk, dilaknat dan tidak memiliki rasa sedikitpun tentang Cinta.
”Terus bagaimana agar aku mengerti tentang Cinta..?”
Cinta adalah cinta, karena hakikatnya adalah Cinta, tidak tersentuh oleh sebutir partikel kebencian sedikitpun, Ia bersumber dari yang maha Cinta tapi tidak terpisahkan dari sumbernya, Ia adalah esensi dari keberadaan, Ia adalah makna penciptaan alam semesta ini, jika demikian Cinta adalah Kesejatian, dan dibahasakan oleh manusia utusan langit (nabi dan rasul) sebagai Tuhan.
”Saya selalu menempatkan Tuhan sebagai nomor satu,” Respon sobit saya.
Tanpa nomor satu, Tuhan tetaplah satu, olehnya jangan diberi nomor, karena bertendensi pada urutan nomor yang lainnya. Tuhan tidak bisa disejajarkan walau dengan nomor yang teratas sekalipun. Olehnya jalanilah hidupmu dengan hati, mengalir dalam irama alam, maka kamu akan merasakan Cinta.
Suatu hari plato bertanya pada gurunya Socrates ”Guru ajari saya Cinta.” Sang guru lantas menyuruhnya pergi kedalam hutan untuk mencari sebatang ranting yang dianggap paling lurus, tapi ingat syaratnya adalah ; ”satu kali memilih dan jangan kembali pada pilihan yang lalu.
” Plato menelusuri hutan dan mencoba mencari ranting kayu yang dianggap lurus. Pertama dia menemukan sebuah ranting yang pas dihatinya, tetapi kemudian dia membuangnya dan berfikir masih akan ada ranting-ranting didepan sana yang lebih baik dan lurus, dan juga karena hutan yang masih begitu luas. Semakin jauh plato berjalan Ia hanya mengulang adegan yang sama seperti ranting yang pertama kali Ia temukan, Ia pun kembali ke gurunya dengan tidak membawa sebatang ranting pun.
Didepan gurunya Ia menuturkan kalau Ia tidak menemukan apa-apa. Sebenarnya plato sudah mendapati beberapa ranting yang menurutnya lurus, tetapi karena Ia terlalu berfikir dan baru menyadarinya ketika Ia sampai pada batas hutan, Ia teringat dengan beberapa ranting sebelumnya yang pas dihatinya maka terlintas keinginan untuk kembali kebelakang dan mengambilnya, akan tetapi Ia teringat pesan gurunya ” Jangan kembali pada pilihan yang lalu” yakni pilihan yang sudah terlewatkan. Gurunya pun bertutur ;
Guru : Itulah Cinta. Seharusnya kamu tempatkan Cinta dihatimu untuk kamu rasakan, akan tetapi kamu menempatkannya pada nalar logikamu, olehnya kamu tidak menemukan apa-apa.
” Realitasnya adalah, betapa manusia terlalu memilih pada sisi nalar sehingga waktu mereka habis hanya untuk membandingkan segala sesuatu tanpa pernah berhenti untuk merasakan sesaat akan suatu keadaan dengan suka cita, selanjutnya merekapun luput dari keinginan berterimakasih pada alam semesta. Disisi lain, manusia dalam mencari pasangan hidupnya terlalu terobsesi pada standar-standar ketetapan yang diciptakan oleh alam pikirnya yang lahir dari interaksi indera dan egosentris hingga membuat manusia lebih banyak memilih dan memilah namun sedikit dalam rasa, akhirnya banyak yang tidak menemukan pasangan hidupnya. Jika sudah diambang batas usia, merekapun semakin gelisa.
Lantas haruskah mereka meraih sembarang ranting yang ada?
Pada sebuah kesempatan yang lain, Plato kembali bertanya pada gurunya ; ”Guru, Ajari saya tentang perkawinan.” Sang guru lantas menyuruhnya pergi kedalam hutan untuk menemukan sebatang pohon yang dianggap paling rindang dan lebat, syaratnya adalah sama dengan ketika Plato mencari ranting yang lurus. Plato menelusuri hutan dan mencoba mencari pohon yang paling lebat dan rindang menurutnya. Setelah menemukan sebatang pohon yang pas dihatinya Ia pun kembali menghadap gurunya. Ia menyampaikan kalau Ia sudah menemukan pohon yang rindang dan lebat, akan tetapi ada yang aneh dalam perjalanan pulang, yakni plato melihat beberapa pohon lainnya yang ternyata lebih lebat, lebih rindang dan lebih indah dari pilihan dia sebelumnya, terlintas keinginan untuk merubah pilihannya akan tetapi Ia teringat akan pesan gurunya yakni ; ”hanya satu kali memilih”, gurunyapun bertutur ;
Guru : Itulah perkawinan, seharusnya kamu menjalankannya dengan hati sehingga dapat merasakan makna dari perkawinan, tetapi kamu menjalankannya denga logika pikiranmu, olehnya kamu sibuk membandingkan apa yang kamu miliki dengan berbagai hal diluar sana termasuk pasangan hidupmu.
Realitasnya adalah betapa manusia menjalani hidup yang dikendalikan oleh akal pikiran yang terproses dari interaksi indrawi, maka lahirlah perbandingan akan apa yang ada pada pasangan hidupnya dengan yang ada pada sosok yang lain, ini adalah sebagian dari sebuah awal akan lahirnya berbagai kegagalan dalam rumah tangga, yang umumnya berdalil pada alasan semu dan naif ”Ketidak-Cocokan”.
Tidak cocok hadir karena proses logika dan nalar, sementara hati adalah sumber tautan Cinta dari sumber Cinta sejati. Hati yang tercahayakan akan merespon segala sesuatu dengan kesejukan dan bermuara pada kedamaian. Nalar merespon segala sesuatu dengan ukuran dan bermuara pada perbedaan, perbedaan inilah yang tidak bisa direspon oleh hati karena hati telah karam dalam kegelapan, hati yang tidak pernah diasah atau diarahkan untuk menemukan cahayanya.
Saudaraku.. berhentilah sekejap dari kepenatan cara berfikir tentang hidupmu, berhentilah sejenak dalam sadar, nikmati desah nafasmu dalam sadar, pejamkan matamu dalam sadar, rasakan dengan kesadaran akan alur nafas itu.. rasakan dan rasakan, pernakah engkau menghitung berapa kali dalam sehari engkau bernafas..? pasti tidak, namun pernakah engkau mensyukuri nafasmu.? pasti jarang.. olehnya rasakan dan syukurilah, ketika anda berada dalam rasa "BERNAFAS" sesungguhnya anda berada dalam realita, itulah fakta akan keberadaan anda, itulah cara merasakan cinta. Selanjutnya tingkatkan RASA itu dengan merasakan apapun kondisi anda saat ini, rasakan dalam kesadaran dan jangan menghakimi, cukup untuk diamati.
Mungkin anda tidak sadar jika selama ini anda hidup dalam pusaran akal pikiran akan sebuah keadaan yang dijanjikan mind (pikiran), sebuah keadaan yang akan datang atau kehidupan yang nanti, lalu anda menjadikan kehidupan sekarang sebagai pondasi untuk melangkah ke alam itu, dengan demikian anda tidak pernah menikmati hidup saat sekarang, anda tidak mampu merasakan realitas saat ini, karena kebahagian bagi anda adalah ; Nanti, suatu saat nanti, yang akan datang jika sudah terpenuhi segala keinginan. Seperti itulah yang dipreviewkan mind, lalu anda selalu gelisa dalam menunggu kata Nanti tersebut, anda menciptakan kecemasan akan ketidak pastiaan keadaan yang akan datang dan anda membawanya pada kondisi sekarang. Bahkan kadang anda di bawa mind ke masa lalu sehingga menambah sederet kemelut dan noda hitam, lantas anda pun menyesal.
Ketahuilah jika yang demikian adalah kerja alam pikiran yang senantiasa membawamu untuk terus bernalar dalam hidup, bernalar dalam kecemasan. Anda telah dibawa keluar dari kesadaran, anda tidak berada dalam bingkai cinta. Karena kesadaran adalah realita anda saat ini, maka nikmati apapun yang ada saat ini dalam kesadaran dan bersyukurlah karena itulah gerbang memahami cinta, lalu Tuhanpun akan menambahkan nikmat-Nya untukmu.
Saudaraku.. masih dengarkah kamu dengan bisikanku..? bertanyalah jikalau memang harus bertanya, tetapi bertanyalah untuk memahami dan saling mengisi, dan jangan pernah bertanya dalam jawaban.
Sohibku, ketika sehelai daun kering terpisah dari ranting, ia pun jatuh ketanah dalam suka cita yang abadi, kejatuhannya bahkan dicatat dalam buku catatan Ilahi karena terjadi atas kehendak Tuhan, ia jatuh karena ia telah selesai menjalankan tugasnya dalam merespon cahaya matahari, ia harus kembali menuju ketiadaan, alam akan membentuknya (menjadi sampah menurut logika) dan meresapkannya kedalam tanah menjadi pupuk lalu ia ditarik oleh akar-akar kehidupan untuk melahirkan sebuah karya cipta yang lebih indah dalam nuansa Maha Karya, ia mempunyai kesempatan untuk bersemi dengan setiap partikel-partikelnya, bisa sebagai kuntum bunga nan indah sehingga sarinya mengundang lebah, lalu bersama lebah ia pun menjadi madu surgawi, kemanakah semuanya bermuara? Pahamkah kita akan segala prosesnya? Mengertikah kita jika semua ini karena Cinta adanya dan bermuara pada tugas melayani manusia dengan segala kebutuhannya. Karena manusia adalah esensi dari kesempurnaan alam semesta.
Jika semua dapat dipahami dengan bijak, maka manusia akan lebih memilih diam. Dan dalam diamnya Ia memahami Cinta yang sesunguhnya, Ia pun akan kehilangan akal dan nalar, lalu kehilangan dirinya sendiri, Ia sudah menjadi cinta itu sendiri. Ia bahkan tidak berhasrat melihat ke negeri surga, karena apa yang Ia lakukan adalah karena Cinta sang Sejati, namun jika masih ada manusia yang dibakar di neraka, Ia mau menggantikan posisinya dengan alasan Cinta yang karena Cinta adanya. Ia bukanlah perindu surgawi yang letaknya dibawah telapak kaki wanita, Karena Ia telah menjadi sebab manusia berhijrah ke surga. Ia bicara tanpa suara, Ia berjalan tanpa jejak, Ia tersenyum tanpa riwayat. Dan kini Ia telah memindahkan surga dari telapak kaki wanita-wanita yang tak memahami hakikat hidup, jika semua wanita di bumi suda tidak memahami hakikat hidup maka tak tersisa satupun pintu surga, lantaran surga dibangun dari lentik lembut bulu mata wanita yang merekah cemerlang dalam tatapan halus nan tulus, lalu mengukir senyuman penuh gelora dan menembus seribu batas kepenatan. Pahamkah kita dengan makhluk yang bernama wanita ?
Dia lah pemilik sifat Tuhan secara syariat dan hakikat, karena rahimnya bumi ini berotasi dalam Cinta. Pujangga sejagad memahat hatinya dalam bait cerita kehidupan, karena kehidupan tak akan hidup tanpa desah nafas wanita. Bumi bernafas dengan nafas wanita, olehnya bumi kuat dalam sabar, juga subur dalam Cinta, taburlah apapun di bumi maka ia akan tumbuh, walaupun batu karang yang terpasak, bumi memolesnya menjadi gunung. Bumi berputar seirama detak nadi wanita, dalam detak nadi wanita ada makna Cinta yang terpatri, oleh karena itu bumi adalah Ibu bagi apapun diatasnya sebagaimana wanita menjadi Ibu dari apapun bentuk dan warna karakter manusia.
Demikian wanita, yang padanya tertitip keindahan tubuh nan gemulai dibaliknya ada Cahaya Ilahi, sehingga wajib untuk ditutupi lalu diberi nama aurat. Demikian adanya bumi yang molek dan indah diselimuti energi cinta yang diberi nama Ozon. Jadilah manusia makna bumi seperti yang terpahat dalam syair-syair Zarathustra, manusia makna bumi adalah manusia yang penuh kelembutan dalam keperkasaan yang bijaksana. Manusia yang memahami visi hidup yang sesunguhnya. Akhirnya, jika sampai pada ambang batas pemikiran, maka semuanya akan menyadari tentang keberadaannya untuk mengarungi arah yang telah ditentukan. Mengalirlah seperti sungai menuju muara dan menyatu kedalam lautan Cinta yang abadi, karena asal sungai adalah lautan. Sanggupkah kamu melihat perbedaan antara sungai dan lautan jika telah menyatu.?
Itulah Cinta yang sesungguhnya.
Wassalam.. jay yusuf
9 Februari 2012 pukul 11.53
wihh boleh copas yah om bgus tuh hehe